Selasa, 20 September 2011

Cerpen : Tanah Eiffel untuk Ze

readers, beberapa waktu yang lalu, di sekolahku ada kakak-kakak yang lagi KKN(Kuliah Kerja Nyata) dari UNY(Universitas Negeri Yogyakarta). then, ada yang di bidang bahasa Indonesia ngadain lomba cerpen antar kelompok (satu kelompok 3 orang). dan, gak nyangka ni ya, kelompokku menang!!!! (plok plok plok...) nah, di posting kali ini, aku mau bagi-bagi cerpenku itu, tapi dari pada kepanjangan, kita buat bagian-bagian aja gimana? deal? (readers : DEALLL!!!!) #soktau

ini dia.....

Bagian 1

Ze, putra bangsa yang berasal dari daerah terpencil di Papua. Daerah yang menurut kita adalah daerah yang sangat tertinggal dari peradaban manusia modern. Dia keturunan asli dari Suku Amungme, Papua. Ze, sangat terisolir dari ilmu pengetahuan. Ze, belajar dari para sukarelawan secara sederhana, tidak mengenal seragam, sepatu, atau apapun dari bagian hidup kita. Tapi Ze selalu ingin lebih tahu lagi dan lagi. Tuhan Maha Adil, walaupun dia dari daerah terpencil tetapi ia sangat cerdas. Bukan hanya belajar dari para sukarelawan, Ze juga belajar dari alam dan adat keras Papua. Itulah yang menjadikan Ze lebih spesial. Kini Ze sama saja dengan kita, manusia modern dan cukup populer di kalangan pelajar Papua. Ze merantau sampai Ibukota Papua, Irian Jaya. Dengan usaha yang sangat keras, dia berhail sampai Irian Jaya meninggalkan adat-adat Papua yang dulu membentenginya dan selama tiga tahun menjadi anak Irian telah mengubah Ze menjadi manusia yang sangat cerdas. Hari itu Ze akan diluluskan dari SMA-nya. Ya, hari itu adalah hari kelulusan Ze. Dan dari sinilah kisah Ze dimulai.

“Ze, ada berita baik untukmu!” kata Kepala Sekolah dengan semangat. “Apa itu, Pak?” tanya Ze penasaran. “Kau mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk bersekolah di Prancis!” lanjut Kepala Sekolah. “Apa itu benar?” tanya Ze memastikan. “Ya, benar. Baru saja Bapak mendapat surat keterangan bahwa kau berhasil mendapatkan beasiswa itu.” Jelas Kepala Sekolah dengan semangat. Ze tercengang, Ia merasa tak percaya bahwa hal ini terjadi. Sekolah di Prancis? Benar-benar tak terduga olehnya.

Pesawat Garuda boeing 747-8 mendarat di Bandara Internasional Prancis pada pukul empat sore waktu setempat. Akhirnya Ze-pun sampai di tempat yang bernama La Éques tempat Ia tinggal selama di Prancis. Keberuntungan besar baginya, karena tempat tinggal yang Ia dapatkan juga termasuk dalam biaya beasiswa yang Ia dapat. Dan keberuntungan juga baginya karena tempat itu Ia dapatkan dalam keadaan bersih. Yah, hari itu Ia pergunakan untuk beristirahat
penuh.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ya, itulah hari dimana Ze memulai hidupnya menjadi mahasiswa Université de Paris, Sorbonne. Ze terlihat sangat rapi mengenakan baju barunya. Ia melangkahkan kakinya di depan pintu gerbang Université de Paris. Betapa bangganya dirinya bisa berdiri di atas tanah yang sama dengan tempat berdirinya menara Eiffel. Ze merasa kagum dengan arsitektur Université de Paris. Ze memasuki gedung utama Universitas tersebut. Jarang kita bisa menemukan bangunan megah seperti itu di tanah air.

Tak lama dari masa-masa mengagumi bangunan tersebut, terdengar sebuah perintah untuk berkumpul untuk kegiatan pengenalan mahasiswa baru pada universitas tersebut yang telah dimulai. Sebut saja ospek. Kegiatan seperti itu terasa membosankan untuk Ze, karena kegiatan seperti itu di Prancis berrbeda dengan di Indonesia. Singkatnya, di sana lebih membosankan. Hanya satu hal yang dapat membuat Ze terhibur, yaitu arsitektur bangunannya. Ukirannya, keunikannya, semuanya!


Dia merasa ada sesuatu yang aneh. Ya, sejak pertama kali kegiatan pengenalan dimulai, segerombol mahasiswa baru lain terus memperhatikannya. “Mungkin mereka hanya kagum padaku karena aku masuk dengan beasiswa.” batinnya cukup percaya diri. Namun dugaan itu salah total. Beberapa hari setelah kegiatan pengenalan dilakukan, Ze cukup menderita karena menjadi bahan tertawaan teman-temannya, dibully istilah kerennya. Tentu saja hal itu bersumber dari segerombol mahasiswa yang ketika kegiatan pengenalan terus memperhatikannya, Ze sudah menduga itu. Yah, apa boleh buat, tak ada yang berpihak padanya, jadi Ze mencoba tak peduli saja dengan semua itu mungkin sebentar lagi ejekan-ejekan teman-temannya itu juga berhenti. Namun, hari demi hari Ia lewati dengan hal yang sama, menjadi bahan tertawaan teman-temannya, dipermainkan, dan dilecehkan. Ia benar-benar tak mengerti apa yang salah dalam dirinya. Dan sama seperti hari-hari sebelumnya, Ia mencoba bersabar dengan itu semua.

“Byuurr...!” suara itu tak asing lagi bagi Ze. Ya, itu suara siraman air yang biasa dilakukan oleh teman-temannya. “Ah,I’m sorry, Ze!” kata seorang temannya yang telah menyiramnya dengan seember air penuh. “Astaga, Zack! Kau membuatnya basah kuyup seperti itu!” kata seorang teman lain kepada orang yang menyiram air kepada Ze tadi. “Aku sudah bilang maaf, apa itu belum cukup, Goerge?” tanya Zack. Seorang bernama George tak menjawab dan hanya menampilkan senyuman setengah bibir. “Apa itu belum cukup, Zeze hitam?” tanya Zack pada Ze dengan panggilan yang kurang nyaman didengar. “Semua hal cukup untukmu, manusia kekurangan pigmen!” Ze menjawab dengan wajah tak peduli. Zack menunjukkan wajah marah. Tampaknya ia ingin membalas dengan perkataan Ze tadi. Tetapi, apapun yang Zack dan komplotannya lakukan, Ze tetap tidak peduli. Yah, karena dia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu, maka Ia tak membantah. Bukan hanya hal itu saja yang teman-teman Ze lakukan kepadanya, Masih banyak hal yang teman-temannya lakukan seperti kemarin, saat Ze sedang berjalan di koridor sekolah dari atas dia di lempari telur oleh Zack dan teman-temannya. Ze sudah tidak bisa bersabar atas kelakuan teman-temannya itu walaupun dia mencoba untuk tidak peduli, tapi hal itu tetap menggangu Ze.

Malam itu di Éques. Ia tidak belajar sama sekali pada malam itu, melainkan Ia hanya merenung, diam dan membuang waktu cukup lama. Jika ada seseorang yang sudah mengenal Ze cukup lama melihat Ze merenung seperti itu, Ia pasti akan berpendapat bahwa ada yang aneh pada diri Ze, karena tidak seperti biasanya Ze seperti itu.


Diam, dengan mengepal kedua tangan kuat-kuat, itulah yang dilakukana Ze saat itu. Sepertinya ia memutuskan tidak belajar pada malam itu. “Apa hak mereka melecehkanku seperti ini? Apa karena aku belum menunjukkan kemampuanku? Tapi, bukankah aku masuk ke sekolah itu karena mendapatkan beasiswa? Seharusnya mereka tahu aku cukup hebat dalam mendapatkan beasiswa itu! Atau jangan-jangan mereka tak tahu bahwa aku masuk ke sekolah itu karena beasiswa? Apa pelajar Eropa berpendapat bahwa pelajar yang mendapat beasiswa itu hanyalah sutau keberuntungan, sehingga tidak pantas bersekolah di sana?” Berbagai pertanyaan menumpuk dibenak Ze dan di dalam hatinya, emosinya seakan-akan ingin meledak.

-------TBC-------

kuatkah Ze menghadapi teman-teman barunya di Prancis? nantikan kelanjutannya di posting berikutnya!! (gayane kayak udah profesional! wkwkwk)

oke der, gitu dulu... aku pengen buat kalian penasaran, semoga itu terkabul! kalo kalian nggak penasaran, HARUS DIPAKSA! hahahaha!!! #joking..
aku tinggal dulu yah? bubayyy....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar