Kamis, 24 September 2015

The Portion II: Extrovert and Introvert

Agak intermezo sedikit, hmm... saya merasa kurang bisa mengawali post kali ini dengan baik. Hihihihi...
Yah, ada yang bilang juga, "all start are difficult" dan saya sedang merasakannya sekarang.

Saya singgung sedikit bagian pertama dari post ini, "The Portion I: Ease Brings Weep". Semua ada porsinya, antara tangis dan tawa. Kadang tawa yang berlebih membuat seluruh emosi kita jadi berantakan. Ya, seringkali kita merasa bahagia karena tertawa, tetapi kebahagiaan akan tawa itu hanya akan berlangsung sebentar. Setelah itu? Emosi yang menjadi tidak stabil.
 
Sedikit saya sangkutkan dengan hal extrovert dan introvert, karena beberapa waktu lalu ada teman saya yang merasa dirinya adalah introvert sehingga ia seperti merasa tidak pantas untuk berdiskusi dengan teman-teman lainnya. "Aku itu introvert, aku jadi lebih baik kerja sendiri," katanya.

Seperti definisi introvert atau extrovert menjadi sebuah limit untuk berkembang. Padahal seharusnya tidak seperti itu, bukan? Judgement yang kita dapatkan atau yang kita simpulkan bisa menjadi gambaran seseorang itu seperti apa, tetapi jika orang itu mau merubah dirinya dengan kata lain memutarbalikkan judgement yang selama ini telah dia dapatkan, apakah itu tidak mungkin?

Nah, di sinilah menurut saya saatnya kita berlaku two faced dengan bijaksana.

Mari kita analogikan sebagai sirkulasi musim. Dalam satu tahun pasti ada musim hujan dan musim kemarau. Meski kita tahu, keduanya sungguhlah berkebalikan, tetapi apabila salah satunya menghilang apakah makhluk hidup bisa hidup dengan baik? Mungkin ada beberapa yang bisa, tetapi hanya beberapa. Sama seperti sikap extrovert dan introvert. Well, this is all about the portion anyway. Ada kalanya kita sebaiknya bersikap sebagai introvert, ada pula waktunya kita menjadi extrovert. Bahkan musim seringkali bertubrukkan, siang hari panas, malam hari dingin. Ya, kadang kedua hal yang berbeda pun dibutuhkan dalam waktu yang sama.

"Dia sekarang lagi nyoba buat jadi extrovert lho, Nik!" kata teman saya mengenai 'teman introvert' saya itu.

Sekian

Senin, 14 September 2015

The Portion I: Ease Brings Weep

I am an introvert girl actually (who always try to be an extrovert). Tidak tahulah, semacam semua detil menjadi lebih terperhatikan dewasa ini, salah satunya persoalan, "aku ini gimana sih?"

A lot of my friends know me as an extrovert one. "Kamu salah jurusan kok, Nik, harusnya kamu jadi anak IPS!" beberapa berkata seperti itu. But, the one that knows you well is YOU. Bahkan mungkin yang mengerti betul saya ini adalah pribadi yang serius hanyalah Mama.

Mungkin ada benarnya juga saat ini saya sedang ada di masa-masa peralihan antara anak kecil-dewasa. Yang masih di atas permukaan menghadapi masalah, sehingga tawa dan canda masih bisa untuk disertakan. But nowadays, I started to aware that resolving problem isn't as easy as turn over the hand.

Well, um, saya tidak bermaksud untuk berkata bahwa menyelesaikan suatu permasalahan tidak dibutuhkan canda tawa. No! Itu tetap dibutuhkan, tetapi ada harus ditambahkan di sini yaitu, keseriusan.

Pernah kan mendengar candaan, "bar Sabtu, Minggu, bar nangis, ngguyu"? Ternyata pepatah itu bisa dibalik: bar ngguyu, nangis.

Yang saya alami, kadang, kita lose control dalam bercanda sehingga apa yang seharusnya bisa dilakukan dalam waktu bercanda kita habis. Saya pernah mengutip sebelumnya di post "T-I-M-E" bahwa semakin lama waktu terasa semakin cepat. Entah mengapa, barangkali karena terlalu sibuk memikirkan detil kehidupan.

Tapi, disinilah saya menjadi belajar untuk membagi dan menata emosi. Kadang ya, bercanda tawa berlebihan membuat emosi kita menjadi tidak kontrol. Sehingga ketika dapat masalah misalnya, alhasil hanya keluhan tak berujung yang keluar. Padahal dengan waktu yang kita isi dengan keluhan bisa kita isi dengan berpikir untuk memutar otak untuk menemukan solusi.

"Enggak, Nik, kamu cocok banget di kelas IPA," beberapa waktu lalu saya akhirnya mendengar kalimat ini keluar dari mulut salah seorang teman saya. Akhirnya...

Karena saya pribadi merasa, akhir-akhir ini saya mulai mengeluarkan diri saya sebagai pribadi yang lebih serius. Well, ini bukan salah satu dari perencanaan hidup, tapi ini terjadi dengan sendirinya. Ketika sebuah kesadaran itu datang, untuk tidak tertawa berlebihan.

Dulu, saya dengan sangat senang hati berusaha untuk membuat orang lain bahagia dan tertawa bersama saya. It feels amazing when you can make a smile :) Akhirnya saya sering bertingkah macam-macam dan terlihat easy going kepada semua orang, perempuan maupun laki-laki. Tapi baru sekarang saya memperhatikan kesenangan saya itu: make a smile, not make a laugh.

Semakin dewasa, semakin saya tahu semua ada porsinya. Saya pernah berkata "being two faced is a kind of mature action" pada post sebelum ini, tapi tidak berlebihan juga. Tidak sampai orang lain mengenal kita sebagai 'bukan kita'.

So, Was I lying to people that had thought I'm an extrovert?

Hmm.. not at all I think. Aih, jangan anggap ini sebuah penyangkalan dan pembelaan diri, tetapi saat itu saya sedang dalam proses menuju kedewasaan (begitupun sekarang). Hanya belum tahu porsinya saja. Saya yakin semua orang pasti akan melakukan hal yang sama.

*To Be Continue